Senin, 09 Februari 2015

MAKALAH SEJARAH DAN MASA DEPAN DINAMIKA POLITIK LOKAL

MAKALAH SEJARAH DAN MASA DEPAN DINAMIKA POLITIK LOKAL

fisip logo.jpeg
OLEH :
MOHAMMAD NAWAWI 712.1.1.1830
SUWANDI ADI PRAYUGO 712.1.1.1840
KHOTIBUL UMAM 712.1.1.1824
ANANG FADLILAH 712.1.1.1809
ALFAJARIAH 712.1.1.1808
SEMESTER III & V – C

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP
2014 – 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik Lokal di Indonesia”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Politik Lokal FISIP Universitas Wiraraja Sumenep. Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1.   Ibu Retno yang sudah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
2.   Teman-teman yang sudah membantu
3.   Rekan-rekan semua di Kelas 3 & 5 - C FISIP  Universitas Wiraraja Sumenep.
4.   Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini
5.   Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Sumenep , November 2014


Tim Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut paham demokrasi dan system Desentralisasi. Dinamika desentralisasi dari waktu ke waktu melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Sejalan dengan itu, tujuan utama yang ingin dicapai melalui penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai landasan utama dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis.
Perjalanan desentralisasi di Indonesia menimbulkan banyak dinamika politik local di Indonesia, Makalah ini akan membahas kehidupan atau sistem politik lokal di Indonesia yang mengacu pada perbandingan antar masa, perbandingan politik lokal masa orde lama, dan politik lokal masa reformasi.
1.2              Case Study
Keadaan Politik Lokal pada masa Orde Baru
Sudah sejak dulu ABRI memiliki peranan tersendiri dalam bidang politik dan juga strategi dalam pemerintahan. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya pejabat militer yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan di masa orde baru.
Berbeda dengan pemilihan yang berlangsung saat ini, di masa orde baru pilkada gubernur dan wakilnya yang dilaksanakan di DPRD dicalonkan dan dipilih berdasarkan skenario yang dikendalikan oleh kekuatan rezim yang berkuasa melalui tiga jalur yang terdiri dari Abri, Birokrat, dan Golkar. Kriteria tidak tertulisnya antara lain adalah cakap, loyal, dapat menjaga stabilitas, dan lain sebagainya.
Dibawah ini adalah contoh dari orang- orang yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan dengan latar belakang militer yaitu :
a.    Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman
-       Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977- 1987)
-       Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan V (1988- 1993)
-       Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993- 1998)
b.    Bustanil Arifin : Pernah menjabat Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Menteri Koperasi Indonesia.
c.    Dr. Tarmizi Taher : Menteri Agama Indonesia periode 1993- 1998
d.   Mayjen TNI (Purn) Widya Latief  :Juru bicara kepresidenan pada masa awal pemerintahan Soeharto
Keadaan Politik Lokal pada masa Reformasi
Masa reformasi dimulai sejak runtuhnya kerajaan orde baru. Hal yang menandai mulainya masa ini adalah diadakannya secara serentak diseluruh Indonesia Pemilihan Kepala Daerah atau biasa disingkat dengan kata PILKADA pada tanggal 7 Juni 1999. Sistem Pemilu yang dipakai pada saat itu adalah sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Sistem ini pernah dipakai oleh Indonesia pada PILKADA tahun 1997. Pada bagian ini kelompok kami akan memaparkan beberapa masalah yang terjadi pada pemilu 1999.
Tidak Bertanggungjawabnya KPU
Pemilu yang diikuti oleh 48 partai ini adalah pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada akhirnya, yang kemudian berhasil masuk DPR berjumlah 21 partai. Landasan hukumnya adalah UU No. 2 tahun 1999. Namun pada pemilu ini, masalah terjadi saat KPU (Komisi Pemilihan Umum) diminta menandatangani hasil suara rakyat. Mereka berdalih bahwa hasil suara tidak sah karena terjadi banyak pelanggaran. Memang, banyak pelanggaran yang terjadi saat pemilu namun hal ini masih dapat ditolelir terbukti dimana pada tingkat daerah, hasil suara ini telah ditandatangani oleh wakil-wakil partai. Ini berarti, pemilu telah berlangsung dengan sesuai prosedur.
Presiden Habibie yang saat itu menjabat diminta oleh Panwas Pemilu Pusat untuk ikut campur tangan dalam penyelesaian masalah ini, dengan dasar hukum Pasal 8 ayat (1) UU  No. 3/1999, yang berbunyi bahwa “Penanggung jawab Pemilihan Umum adalah Presiden". Keputusan ini memang terlihat seperti pelanggaran dimana presiden mengintervensi KPU, namun karena masalah ini memang sepenuhnya merupakan kecurangan dari anggota KPU yang tak bertanggung jawab, tidak terdapat ada penolakan terhadap keputusan ini dimana publik pun diam saja tanda setuju terhadap keputusan yang diambil oleh Presiden Habibie.
1.3              Rumusan Masalah

Untuk mengkaji dan mengulas tentang Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik Lokal di Indonesia, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Dinamika Politik Lokal Di Indonesia ?
2.      Bagaimana Perjalanan Desentralisasi di Indonesia ?

1.4              Tujuan dan Manfaat
         Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Politik Lokal FISIP dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah.
         Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik Lokal di Indonesia  dan untuk membuat kita lebih memahami Politik Lokal di daerah.

1.5        Sistematika Penulisan

Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab penutup. Adapun bab pendahuluan terbagi atas : latar belakang, case study, rumusan makalah, tujuan dan manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab pembahasan dibagi berdasarkan subbab yang berkaitan dengan Sejarah dan masa depan dinamika politik local di indonesia. Terakhir, bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Pengertian Sejarah, Politik, dan Politik Lokal.

Sejarah ialah sebagai masa lampau manusia dan persekitarannya yang disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku . Sedangkan usaha untuk mencapai kekuasaan dan membawa tujuan untuk masyarakatnya adalah suatu politik . Berdasarka pengertian diatas, maka dapat disimpulkan sejarah politik merupakan peristiwa masa lampau mengenai peristiwa yang berkaitan dengan usaha serta kebijakan untuk kemaslahatan masyarakat banak dalam suatu wilayah. 
Politik lokal secara sederhana dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan politik yang berada pada level lokal. Seperti halnya pemerintahan lokal, pembentukan kebijakan daerah, maupun pemilihan kepala daerah.

2.2  Dinamika Politik Lokal Masa Penjajahan Kolonial Belanda

Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan hukum berupa Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat konservatif. Aturan tersebut menjelaskan tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya. Di samping menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau Jawa saja..
Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan adalah sebagai berikut:
1.      pemerintahan tidak langsung,
2.      pemberlakukan aturan double standart, hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat bagi pribumi,
3.      berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki pemerintah kolonial di luar pulau Jawa,
4.      isolasi gerakan nasionalis,
5.      pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.

2.3  Dinamika Politik Lokal Masa Penjajahan Kolonial Jepang

Pada masa pendudukan kolonial Jepang, daerah bekas jajahan Belanda terbagi menjadi tiga komando, yaitu:
1.    Sumatera  di  bawah  Komando  Panglima  Angkatan  Darat  XXV  di Bukittinggi;
2.    Jawa dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI di Jakarta;
3.    Daerah lain di bawah Komando Panglima Angkatan Laut di Makassar.

2.4  Dinamika Politik Lokal Masa Kemerdekaan 1945
Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari bumi Hindia Belanda karena kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali kekuasaannya di Indonesia. Segala dalih politikpun direncanakan demi merebut ambisi menduduki kembali bumi Indonesia, Politik Belanda saat itu adalah merumuskan Indonesia ke dalam negara-negara bagian sehingga terciptalah bentuk negara Federasi yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Menurut Nasution, ada 2 alasan kegagalan RIS yang memiliki 17 negara bagian yaitu:
1.    Indonesia merasa dikhianati oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook, karena pendirian negara miniatur di luar federasi: Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bangka, Belitung, di luar kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda, dan
2.    Tulisan Dr. Anak Agung Gde Agung, tokoh pemimpin dari wilayah Timur Indonesia, berisikan mengenai tiga setengah tahun pelaksanaan federalisme di wilayah Timur Indonesia ternyata gagal memberikan hasil memuaskan.

2.5  Dinamika Politik Lokal Masa Demokrasi Parlementer

Pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), lahirlah Undang-undang Nomor 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956, dengan alasan:
1.        bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka undang-undang pokok Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan bentuk Negara Kesatuan;
2.        bahwa pembaharuan itu perlu dilakukan dalam suatu Undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada akhirnya negara kesatuan disepakati sebagai pilihan dengan beberapa persyaratan, seperti:
1.        penegakan demokrasi lebih berguna untuk meredam ketidakpuasan di berbagai daerah, melawan ketidakadilan, dan menghindari sentralisasi yang tidak seimbang, dan
2.wilayah-wilayah sedapatnya akan diberikan otonomi seluas-luasnya.

2.6  Dinamika Politik Lokal Masa Demokrasi Terpimpin

Selepas Dekrit Presiden di tahun 1959 diberlakukan, pemerintahanpun semakin mengarah pada demokrasi terpimpin. Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6/1959 (disempurnakan) dan Penetapan Presiden Nomor 6/1959 (disempurnakan) mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Dasar pemikiran undang-undang pemerintahan daerah adalah:
1.        tetap mempertahankan politik dekonsentrasi dan desentralisasi, dengan menjunjung paham desentralisasi teritorial;
2.        dihapuskan dualisme pimpinan daerah.
Perkembangan selanjutnya tentang pemerintahan daerah adalah terbitnya Undang-undang Nomor 18/1965 yang membagi habis daerah-daerah otonom di Indonesia ke dalam tiga tingkatan:
1.      Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I;
2.      Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II;
3.      Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.
The Liang Gie mengungkapkan beberapa kelemahan Undang-undang No. 18/1965 tersebut, antara lain:
1.        politik desentralisasi masih mengandung apa yang disebut oleh Prof. John D. Legee sebagai colonial flavor (berbau kolonial), karena pemerintah pusat masih keras menunjukan keinginan dan berusaha menancapkan serta memelihara kekuasaanna di lingkungan segenap wilayah bawahannya;
2.        Undang-undang No. 18/1965 masih meneruskan memakai istilah ”rumah tangga” daerah dari masa lampau yang sangat kabur pemakaiannya;
3.        Masih menggunakan istilah ”pemerintahan sehari-hari” yang tidak tegas pemaknaannya;
4.        Menganut citra ketunggalan dan keseragaman, artinya penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia hanya diatur dengan satu peraturan saja dan isinya tidak memiliki pemahaman akan arti keberagaman tiap daerah; dan lainnya.

2.7  Dinamika Politik Lokal Masa Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru, lahirlah Undang-undang Nomor 5/1974 dimana semangat sentralisasi pemerintahan justru semakin menjadi-jadi. Di dalam masa kekuasaan Order Baru, etnis cina Indonesia memperoleh perlakuan khusus, sehingga jurang ekonomi antara masyarakat keturuna etnis Cina dengan kaum pribumi menjadi sangat tajam. Lebih jauh lagi, masa pemerintahan Soeharto memunculkan model pembangunan daerah yang timpang antara masyarakat di belahan Indonesia bagian Barat (Jawa dan Sumatra) yang kaya dengan masyarakat di Indonesia bagian Timur yang melarat dan kelaparan (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur sebelum menjadi negara Timor Lester, dan Papua). Ketimpangan tersebut menjadikan pembangunan tidak merata di daerah pedesaan dan kemiskinan di daerah perkotaan, meningkatkan jumlah penduduk perkotaan sangat pesat.

2.8  Dinamika Politik Lokal Masa Pasca Orde Baru

Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian UU Nomor 22/1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya.
Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan janji pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan ‘perut’ sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan undang-undang ‘penangkal’ baru, yaitu Undang-undang Nomor 32/2004 dan 33/2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen undang-undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan.
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya.

2.9 Perjalanan Desentralisasi sebagai landasan politik lokal di Indonesia

Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan : Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial.
Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan :Sistem pemerintahan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu tertentu menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, yang mana hal ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 : Diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 : UU No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai pengganti UU Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kebebasan. UU 22 Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya dan desa atau kota kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 : UU 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah desentralisasi. UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal hasil Pemilihan Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik menuntut adanya Pemerintah Daerah yang demokratik.
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 : Tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur Pemerintah Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 : Kebijakan pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada Pemerintah Pusat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 : Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut  oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah).
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 : UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa  sentralistik menjadi desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara penuh kepada Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 : Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Orientasi pelayanan masyarakat, dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah.



BAB III
PENUTUP
3.1              KESIMPULAN
Dinamika politik local di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat panjang , sejak masa sebelum kemerdekaan , masa kemerdekaan, masa pasca kemerdekaan, masa demokrasi parlementer, masa orde lama, orde baru, sampai sekarang era reformasi. Politik local tersebut memunculkan desentralisasi di daerah. Dan antar masa , ada saja kesalahan – kesalahan yang berbeda dari desentralisasi yang dilakukan oleh pemreritah daerah.
Perjalanan desentralisasi di Indonesia juga panjang, perbaikan terus dilakukan sehingga menyebabkan dinamika desentralisasi. Berawal dari Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan , Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan . Juga undang undang yang berlaku sepperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945  ,Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 , Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 , Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 , Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 , Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 , dan yang terakhir kita pakaia sekarang ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
3.2              SARAN

Berdasarkan permasalahan atas perjalanan dinamika politik local dan desentralisasi dari masa ke masa, maka kami memberikan sebuah saran atas permasalahan tersebut yakni, untuk meminimalisir terjadinya perubahan dinamika kembali di masa depan akibat kesalahan – kesalahan yan kerap muncul dari desentralisasi sebaiknya pemerintah pusat lebih menjaga hubungan kepada pemerintah daerah dengan tidak membuat kebijakan yang merugikan daerah agar tidak ada lagi daerah yang ingin melepaskan diri atau merdeka, atau daerah yang menjadi korban dari pemerintah pusat yang menyebabkan perubahan undang – undang atau perubahan system kembali.

2 komentar:

  1. Makasih ya infonya dapat menambah pengetahuan kita semuanya
    Khasiat daun alami

    BalasHapus
  2. hay, nama saya try, salam kenal,.
    trimakasih sudah berbagi ilmu,.. artikelnya sangat bermanfaat..
    kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kuliah. Saya juga punya pembahasan mengenai politik., kalau berminat silahkan lihat Makalah Politik Pendidikan . siapa tahu bisa bermanfaat.

    BalasHapus

Comments system